Beberapa hari yang lalu saya menghadiri presentasi satu perusahaan
yang menjelaskan software sistem informasi rumah sakit yang mereka
tawarkan. Sekilas terlihat memukau, setidaknya bagi eksekutif yang awam dalam dunia teknologi informasi.
Dalam presentasinya disebutkan betapa aplikasi sistem informasi tersebut mampu mewujudkan paperless system
di rumah sakit sehingga seorang dokter yang memeriksa pasien di
poliklinik misalnya, tidak perlu lagi menuliskan resep di kertas dan
menyerahkannya ke pasien seperti praktek yang umum. Demikian pula dengan
dokumen yang terkait data pasien, cukup dipantau dan di-update melalui
layar komputer. Resep yang dibuatkan dokter akan ditulis di layar
komputer yang secara otomatis akan meneruskan informasi ini ke apotik
dan kasir. Dengan proses ini, pemasukan rumah sakit dari pembelian
obat-obatan diyakini akan meningkat. Soalnya, prosedur seperti diatas
akan menggiring pasien untuk membeli obat dari apotik milik rumah sakit.
Otomatisasi ini tentu saja akan memangkas proses peredaran dokumen
antara bagian administrasi dan dokter yang biasanya dilakukan dengan
bantuan office boy. Kini semuanya akan ditangani oleh komputer.
Jika Anda memiliki asuransi kesehatan tertentu, tidak perlu pusing.
Semua akan ditangani di meja kasir yang akan berurusan dengan broker
asuransi kesehatan Anda. Dalam hitungan menit, mereka akan menilai
klaim pengobatan (dan laboratorium maupun biaya rawat inap) yang dikirim
pihak rumah sakit secara elektronik untuk diberikan persetujuan atau
ditolak.
Pasien cukup duduk manis dan bersabar sebelum diminta membayar
selisih biaya jika klaimnya lebih besar dari biaya yang ditanggung
asuransi.
Itulah antara lain fungsi utama sistem informasi rumah sakit (hospital information system).
Memang masih ada fitur-fitur tambahan lainnya seperti interkoneksi
dengan unit-unit pendukung lainnya di rumah sakit, seperti ruang
operasi, instalasi rawat inap, instalasi gawat darurat, dapur,
inventory, kepegawaian hingga manajemen.
Namun kalau melihat realita saat ini, khususnya rumah sakit yang
dikelola pemerintah (pusat atau daerah), sistem informasi yang digunakan
sebagian besar masih jauh dari ideal. Pasien masih dilayani dengan
proses kerja yang manual. Sejak dari pendaftaran hingga pembayaran serta
pengambilan obat di apotik, belum ada mata rantai proses yang
terintegrasi. Pada beberapa rumah sakit swasta, kondisinya agak berbeda.
Rumah sakit swasta yang besar kondisinya sudah jauh lebih baik,
prosesnya sudah mulai terintegrasi. Tetapi apakah semua prosesnya sudah
terpadu dan bisa dikatakan 100% paperless? Jawabannya, belum.
Kenyataannya semua rumah sakit di Indonesia saat ini belum memiliki
sistem informasi yang telah mengintegrasikan semua proses yang ada.
Khususnya unit-unit seperti laboratorium darah, X-Ray, CT-Scan dan MRI
memiliki peralatan electronic medical records yang masih berdiri sendiri, belum terintegrasi kedalam database hospital information system.
Sehingga seorang dokter yang ingin mengetahui hasil pemeriksaan darah
atau hasil CT-Scan pasiennya, belum bisa memonitor hasilnya dari layar
komputer secara online.
Untuk mengintegrasikan keseluruhan mata rantai proses di rumah sakit
jelas dibutuhkan biaya yang tidak sedikit karena implementasinya lebih
rumit dibandingkan sistem informasi industri di sektor komersial.
Tapi yang sering paling dilupakan orang adalah aspek non-teknis dari
implementasi sebuah sistem, apapun sistem itu. Dalam konteks tersebut
ada contoh menarik yang ingin saya angkat dalam tulisan singkat ini.
Beberapa hari lalu saya berobat mata ke salah satu rumah sakit swasta langganan saya di selatan kota Jakarta.
Ketika melapor ke meja Resepsionis, saya dipersilahkan langsung ke
poli mata yang berada di lantai lain. Saya pun menuju ke poli mata dan
mendaftar. Kebetulan pasien tidak banyak sehingga saya tidak perlu
berlama-lama menunggu. Seusai diperiksa, saya langsung menuju apotik
sambil membawa resep obat yang diberikan dokter. Seperti biasa, saya
langsung menyodorkan kertas resep ke petugas di loket “penerimaan
resep.”
“Bapak silahkan ambil nomor dulu,” ujar staf apotik.
“Oh.. pakai nomornya. Dimana ambil nomornya?” tanya saya agak kaget.
“Ada disana pak,” katanya lagi sambil menunjuk kearah lobi utama rumah sakit.
Saya
mengiyakan dan berjalan kearah yang ditunjuknya. Agak bingung juga,
dimana lokasi pengambilan nomor yang dimaksud. Akhirnya saya bertanya
kepada salah satu staf rumah sakit yang lewat, dimana lokasi pengambilan
nomor untuk apotik.
Ternyata lokasinya berada di tengah-tengah lobi, cukup besar. Tadinya
saya sangka itu semacam papan pengumuman atau petunjuk biasa, seperti
yang umumnya dipajang di perkantoran. Tapi itu adalah layar sentuh
“Sistem layanan rumah sakit” (lihat gambar diatas) yang dilengkapi
dengan printer mini untuk mencetak resi nomor urut. Jadi pasien yang
ingin memperoleh layanan apotek, kasir dan laboratorium mesti mengambil
nomor urut terlebih dahulu.
Selesai mengambil resi nomor urut, saya kembali ke staf apotek dan menyerahkan resinya.
Tapi dijawab lagi, “bapak tunggu dipanggil ya, sesuai nomor urutnya.”
Waduh malu juga, saya seperti orang ngga mengerti aturan. Saya lalu
melihat ke sekeliling, apa ada papan informasi atau layar yang
memberikan informasi nomor urut berapa yang sedang dilayani. Biasanya di
counter teller bank ada terpampang layar monitor yang menampilkan nomor
antrian yang tengah dilayani. Tapi disini tidak ada. Jadi kita harus
pasang kuping baik-baik agar bisa segera maju ke loket penerimaan resep,
kalau dipanggil petugas apotek.
Sambil menunggu dipanggil, saya amati dua ibu-ibu yang tertipu
seperti saya karena tidak mengambil nomor urut. Sekarang saya bisa sok
tau dengan menunjukkan cara mencetak resi nomor urut ke ibu-ibu
tersebut.
Selesai urusan di apotik, saya tidak mau membuat ketololan lagi. Saya
balik menuju panel sistem layanan rumah sakit dan memencet tombol untuk
mengambil resi antrian kasir.
Tampaknya fasilitas layanan kasir jauh lebih baik. Ada 3 loket kasir
dan dipojok terpajang layar monitor yang menampilkan nomor urut ketika
dipanggil ke loket pembayaran. Ini mirip dengan layanan di bank-bank.
Ketika giliran saya dilayani oleh kasir, terdengar seseorang menegur
disamping saya. Oh, rupanya salah seorang teman kuliah saya yang
menemani anak isterinya berobat. Dia lagi menggerutu karena ditolak
sewaktu mau melakukan pembayaran ke kasir, karena belum mengambil nomor
antrian. He he …. ternyata teman saya pun mengalami masalah yang sama.
Saya iseng bertanya ke kasir, sudah berapa lama sistem layanan baru
ini diterapkan? Dijawab oleh kasir bahwa sistem ini sudah digunakan
hampir 2 bulan.
“Apa tidak ada petugas yang melayani dan memberikan penjelasan ke pasien di dekat pintu masuk?” tanya saya lagi.
“Mestinya itu tanggung jawab satpam,” kata sang kasir lagi.
Dalam hati saya bertanya-tanya, kenapa urusan sosialiasi sistem
layanan rumah sakit diserahkan ke satpam? Apa karena aspek efisiensi?
Tapi ya itulah apa yang saya alami. Dalam 10 menit menunggu dan
dilayani kasir, ada 2 orang lagi yang terlihat gaptek dan harus dituntun
bagaimana cara mengeluarkan nomor antrian. Oh saya salah, bukan gagap teknologi (gaptek), tapi lebih pas disebut gagap prosedur (gappro).
Disini terbukti bahwa implementasi sebuah sistem yang baru bukan
melulu soal teknis dan kapabilitas sistem, tapi juga menyangkut
sosialisasi agar penggunanya tidak kagok dan merasa lebih nyaman. Dalam
konteks rumah sakit, penggunanya mencakup karyawan, dokter dan pasien.
Belakangan saya juga memperoleh informasi bahwa di rumah sakit lain
di Jakarta Selatan yang sekitar dua tahun lalu telah menerapkan layanan
sistem informasi terpadu (dimana dokter poliklinik langsung menuliskan
resep di komputer), kini telah kembali ke proses tradisional, menuliskan
resep di kertas.
Lho kok? Ya, rupanya banyak dokter yang merasa kurang nyaman kalau
menuliskan resep di layar komputer. Cara tradisionil lebih nyaman, kata
teman saya. Lagi pula, dengan pola itu pasien bisa menebus obat di
apotek luar rumah sakit.
Ini satu lagi aspek non-teknis yang tampaknya luput dari perhatian
perancang sistem informasi rumah sakit. Implementasi sistem informasi
yang benar tidak melulu bicara soal fungsi dan fitur, tapi juga harus
peduli dengan kemudahan akses dan kenyamanan penggunanya.
Sumber : http://aswilnazir.com/2012/04/06/sistem-informasi-rumah-sakit-bukan-sekedar-solusi-teknologi/